Konsep mengenai perlindungan hukum belum memiliki batasan-batasan
yang diakui secara keilmuan. Selaras dengan hal itu, Harjono berpendapat bahwa
Para pengkaji hukum belum secara komprehensif mengembangkan konsep “perlindungan
hukum” dari perspektif keilmuan hukum. Banyak tulisan-tulisan yang dimaksudkan
sebagai karya ilmiah ilmu hukum baik dalam tingkatan skripsi, tesis, maupun
disertasi yang mempunyai tema pokok bahasan tentang “perlindungan hukum”. Namun
tidak secara spesifik mendasarkan pada konsep-konsep dasar keilmuan hukum
secara cukup dalam mengembangkan konsep perlindungan hukum. Bahkan dalam banyak
bahan pustaka, makna dan batasan-batasan mengenai “perlindungan hukum” sulit
ditemukan, hal ini mungkin didasari pemikiran bahwa orang telah dianggap tahu
secara umum apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum sehingga tidak
diperlukan lagi sebuah konsep tentang apa yang dimaksud “Perlindungan Hukum”[1].
Perlindungan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal protection
dan dalam bahasa Belanda disebut rechtsbecherming. Harjono mencoba untuk
memberikan pengertian terhadap perlindungan hukum yaitu sebagai perlindungan
dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,
ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu
dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam
sebuah hak hukum”[2]. Dengan kata lain perlindungan hukum adalah perlindungan yang
diberikan dengan berlandaskan pada hukum dan Undang-Undang.
Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan pemenuhan
hak dasar yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur
di dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 “Tiap tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 33 ayat (1)
yang menyatakan bahwa“ Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas kekeluargaan”.
Pelanggaran terhadap hak dasar yang dilindungi konstitusi merupakan pelanggaran
hak asasi manusia. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi
atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan
pengusaha. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan bagi pekerja Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pelaksana dari
perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan.
Hak-hak dasar buruh adalah instrumen yang mampu memberikan
kesadaran kepada kaum buruh untuk berjuang dalam mempertahankan dan
mengupayakan apa yang menjadi haknya. Kaum buruh memerlukan dukungan dari semua
pihak dalam mengupayakan perlindungan terhadap haknya karena sebagaimana
disebutkan di atas bahwa kedudukan buruh dan pengusaha yang tidak sejajar
menyebabkan buruh menjadi obyek penderita dalam skenario hubungan
ketenagakerjaan. Kelompok rentan dari golongan buruh yang sangat memerlukan
perlindungan adalah buruh perempuan. Penyebabnya adalah paradigma dalam
berbagai peradaban, konstruksi sosial, bahkan adanya kebudayaan yang masih
memberikan pembeda berdasarkan gender, menempatkan posisi perempuan di bawah
laki-laki, memberikan label pada perempuan sebagai makhluk yang lemah, rentan
dan mudah ditindas. Hal tersebut membuat buruh perempuan sering mendapat
perlakuan diskriminasi, tidak menyenangkan, bahkan tindak pelecehan. Di sisi
lain buruh perempuan juga memiliki perbedaan bersifat kodrat yang merupakan
pemberian Tuhan Yang Maha Esa bersifat permanen dan tidak dapat di ubah.
Berdasarkan kodrat itulah kemudian timbul hak-hak istimewa sebagaimana yang
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu hak reproduksi seperti
cuti haid, hamil, melahirkan, menyusui, dan lain sebagainya. Dalam prakteknya
hak-hak tersebut seringkali tidak diberikan dan pemegang hak hanya pasrah tanpa
bisa berbuat apapun.
Secara umum perlindungan hukum bagi
pekerja/buruh atau disebut juga perlindungan kerja menurut Imam Soepomo
sebagaimana yang di kutip oleh Agusmidah, terbagi menjadi tiga macam, yaitu
sebagai berikut.
·
Perlindungan
ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha
untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan
sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut
tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini
disebut dengan jaminan sosial.
·
Perlindungan
sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan,
yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan mengembangkan
prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat
dan anggota keluarga; atau yang biasa disebut kesehatan kerja.
·
Perlindungan
teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk
menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh
pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau
dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut dengan keselamatan kerja.[3]
Secara umum perlindungan hukum dibedakan menjadi dua
yaitu:
1) Perlindungan
Hukum Pasif
Berupa
tindakan-tindakan dari luar (selain buruh/pekerja) yang memberikan pengakuan
dan jaminan dalam bentuk pengaturan dan kebijaksanaan berkaitan dengan hak
pekerja wanita.
2) Perlindungan
Hukum Aktif
Berupa tindakan dari
pekerja wanita yang berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-haknya. Perlindungan
hukum aktif ini dibagi menjadi dua yaitu:
a. Perlindungan
hukum aktif-preventif, yaitu berupa hak-hak yang diberikan oleh pekerja wanita
berkaitan dengan penerapan aturan ataupun kebijaksanaan pemerintah ataupun
pengusaha yang akan diambil sekiranya mempengaruhi atau merugikan hak -hak
pekerja wanita.
b. Perlindungan
hukum aktif-represif, yaitu berupa tuntutan kepada pemerintah atau pengusaha
terhadap pengaturan maupun kebijaksanaan yang telah diterapkan kepada pekerja
wanita yang dipandang menimbulkan kerugian.[4]
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah
memberikan perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan terkait dengan
kekhususan perempuan itu sendiri yakni perlindungan yang didasarkan fungsi
biologisnya. Fungsi biologis perempuan yang membedakannya dengan laki-laki
adalah fungsi dalam reproduksi, oleh karena itu pekerja/buruh perempuan
memiliki hak yang dinamakan hak reproduksi. Berikut ini adalah beberapa Pasal
dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 yang merupakan bentuk perlindungan
terhadap hak reproduksi pekerja/buruh perempuan.
1.
Haid
(Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003),
(1) Pekerja/buruh
perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada
pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2.
Melahirkan
(Pasal 82 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003),
“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat
selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu
setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau
bidan.”
3.
Keguguran
(Pasal 82 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003),
“Pekerja/buruh
perempuan yang mengalami keguguran berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah)
bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.”
4.
Menyusui
(Pasal 83
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003),
“Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu
harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus
dilakukan selamawaktu kerja.”
Khusus bagi
ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu mengenai
istirahat melahirkan dan istirahat akibat keguguran, pengusaha harus tetap
memberi upah penuh sebagaimana tertea pada Pasal 84 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003, yang berbunyi sebagai berikut.
“Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan
d, Pasal 80 dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh”.
Penyimpangan atas ketentuan Pasal 82 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 merupakan tindak kejahatan dan dikenakan sanksi pidana
sebagaimana di atur pada Pasal 185 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang
berbunyi sebagai berikut.
(1) Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal
143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Beberapa ketentuan yang disebutkan diatas dalam
penerapannya memerlukan dukungan dari unsur-unsur lain yang mempengaruhi
evektifitas keberlakuan hukum. Ketentuan tersebut hanya unsur subsatansi yang
tidak akan berjalan tanpa unsur lain. Sehubungan
dengan itu Soerjono Soekanto sebagaiman dikutip oleh R.Otje Salman, menyatakan
bahwa efektvitas berlakunya hukum ditentukan oleh lima faktor yaitu[5] :
1.
Hukumnya,
misalnya memnuhi syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis;
2.
Penegak
hukumnya, misalnya betul-betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku;
3.
Fasilitasnya,
misalnya prasarana yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya;
4.
Kesadaran
hukum masyarakat;
5.
Budaya
hukumnya, misalnya perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict
tentang adanya budaya malu (shome culture) dan budaya rasa bersalah bilamana
seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum yang berlaku (quality
feeling).
Kaitan dengan hukum mengenai perlindungan hak
reproduksi pekerja/buruh perempuan masih terdapat ketentuan yang tidak memiliki
sanksi. Kewajiban penegak hukum dalam menegakkan hukum tersebut perlu untuk
dibenahi begitu pula dengan fasilitasnya sebagai contoh yaitu fungsi pengawasan
yang memiliki masalah tentang jumlah pengawas yang tidak sesuai dengan jumlah
yang di awasi. Kesadaran hukum masyarakat harus terus diperbaiki melalui
sosialisasi-sosialisasi khususnya terhadap pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan. Budaya hukum dapat dicontohkan dengan budaya pengusaha
yang menyalahgunakan makna anti diskriminasi dalam mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan.
[1] Harjono,
2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi. Hal.373.
[2]
Ibid Hal.357
[3]
Agusmidah, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika & Kajian Teori,
Ghalia Indonesia, Bogor. Hal.61
[4] Winahyu
Erwiningsih, “Masalah -Masalah Tenaga Kerja di Sektor Informal dan Perlindungan
Hukumnya”, ar tikel pada Jurnal Hukum, Vol.1 Nomor 3, PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,
1995, hlm. 24-25.
[5]
R.Otje Salman, 1993, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
Hal.62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar