Sabtu, 23 Juli 2011

Berpikir Positif dalam Menyambut Kelahiran Anak

          Anak adalah amanah dari Tuhan yang harus kita jaga sekaligus menjadi modal untuk mempersiapkan kehidupan kedua setelah meninggalkan dunia, seperti kita ketahui bahwa setelah mati maka putuslah segala bentuk hubungan kita dengan dunia kecuali tiga perkara, dimana salah satunya adalah doa anak shalih. Anak dapat diibaratkan seperti sebidang tanah yang harus kita olah dengan baik agar mendapatkan hasil yang baik pula, maka dari itu kehadirannya harus kita tanggapi dengan gembira dan penuh rasa syukur. Tuhan dengan sifat rahman dan rahim-Nya telah menyiapkan bekal bagi kita, seperti halnya seorang ibu yang menyiapkan bekal untuk anaknya yang akan pergi kesekolah, maka ketahuilah bahwa kasih Tuhan terhadap makhluknya tiada terbatas.
          Dengan demikian telah terjawab pertanyaan mengapa setiap pasangan yang baru menikah sangat mengidam-idamkan hadirnya seorang anak, tidak hanya untuk meneruskan keturunan (nasab), melainkan kehadiran seorang anak juga merupakan berkah bagi kehidupan orang tuanya baik di dunia maupun di akhirat. Mungkin sebagian dari pasangan yang menikah muda ataupun mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi, kehadiran anak akan menjelma menjadi beban pikiran tentang ketidakpastian anak dimasa depan, akan muncul ketakutan-ketakutan yang membayangi benak mereka. Sebaiknya hindarilah ketakutan tersebut apalagi jika hal itu kemudian menjadi suatu hal yang berlebihan dan memicu terjadi perbuatan tercela ataupun menjerumus pada tindak kejahatan apapun bentuknya.
          Bahkan dalam ilmu empirispun seperti pada ilmu fisika kuantum terdapat suatu hal yang selama ini tidak terbayang dalam benak kita, yaitu bahwa di alam semesta ini berlaku hukum gaya tarik. Pikiran kita mengeluarkan semacam gelombang yang dipancarkan ke seluruh alam semesta, dan pada suatu saat (tergantung pada eksistensi dan kekuatannya) gelombang tersebut akan direspon dalam bentuk merubah pikiran tersebut menjadi realitas. Sebagai contoh yaitu apabila seseorang dalam berkendara selalu berpikir untuk jatuh sehingga memicu ketakutan yang berlebihan maka suatu saat ia akan benar-benar terjatuh.
Ungkapan diatas tentunya tidak serta merta mengurangi kewajiban kita untuk mempersiapkan segalanya yang diperlukan di masa yang akan datang. Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika mereka tidak berusaha terlebih dahulu. Dalam menyambut kelahiran anak tentunya kita harus berikhtiar semaksimal mungkin terlebih dahulu, setelah itu bertawakalah kepada Allah. Pasrahkan semuanya karena Allah telah berfirman pada surat Al-Israa’ : 31, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan member rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.
          Bergembiralah dan selalu berpikir positif jika anda akan menjadi seorang ayah atau bunda, karena dengan sikap demikian maka kehangatan akan selalu tercurah kepada calon bayi walaupun masih dalam kandungan. Tanamkanlah nilai-nilai agama sedari dini, anda juga harus aktif dalam mempelajari adab dalam menyambut kelahiran bayi menurut tuntunan agama. Selain itu anda juga dapat mempersiapkan hal materi yang nantinya dibutuhkan oleh bayi seperti baju bayi, tempat tidur bayi dan lain sebagainya, karena dengan demikian anda akan semakin bersemangat dan menatap masa depan dengan penuh harapan.
Seperti halnya yang dilakukan oleh penulis dalam menyambut kelahiran anak keduanya, meskipun pernah kehilangan anak pertamanya di usia 3 bulan dengan perlahan akhirnya dapat melepasnya dengan ikhlas dan sabar. Saat ini harus kembali bersemangat bagaimanapun keadaannya harus selalu berpikir positif. Pernah tersirat sesaat ketakutan namun kemudian ditampis dengan literatur-literatur yang diyakini oleh penulis sebagai petunjuk dari-Nya.
          Setelah mencari referensi tentang tata cara menyambut bayi, nama-nama bayi dan lain sebagainya, kemudian terpikir untuk membuat box bayi dengan desaign sendiri, seperti dalam gambar berikut ini :



          Semoga dengan segala upaya yang telah penulis lakukan denan penuh semangat, calon bayi akan dapat merasakan kehangatan dan kasih sayang, sehingga ia juga akan bersemangat dalam manjalani kehidupannya nanti, serta menjadi anak yang sehat, cerdas, sholeh, berbakti kepada orang tua dan lain sebagainya. Dengan ini semoga Tuhan juga akan semakin percaya bahwa penulis dapat menjaga amanah dari-Nya. “Ya Allah berikanlah hamba keturunan yang baik dan sholeh, sesungguhnya Engkau maha pendengar doa”, Amin ya Robbalalamin…

Sabtu, 07 Mei 2011


Perjuangan Berlanjut
Enam puluh lima tahun silam di pegangsaan timur bangsa Indonesia meneriakan kata merdeka. Pisau kolonialisme yang telah lama tertancap dijantung ibu pertiwi dicabut dengan segenap kekuatan secara serempak diberbagai sudut nusantara. Bendera pusaka terpancang diujung tertinggi tiang harapan seiring dengan tumpukan angan tentang bangsa kokoh yang akan merajai masa depan. Cita-cita mulia disematkan oleh generasi terdahulu dalam naskah dengan gambaran perdamaian dunia serta konstelasi tentang bangsa cerdas yang mempeloporinya.
            Pengorbanan yang begitu besar dari para patriot masa lalu, kini tak mampu terbayang dalam logika generasi manja yang sekan menganggap semua ini ada begitu saja. Apa yang mereka baca dalam buku-buku sejarah hanya dianggap sebagai dongeng dan kisah yang dibesar-besarkan. Padahal jika dipikir lagi untuk apa beliau-beliau bersusah payah dalam pembuangan, kekangan, serta himpitan pengap penjara demi menciptakan sebuah perubahan, mengingat kemampuan luar biasa yang dimiliki bisa saja mereka menjadi pejabat-pejabat pemerintah penjajah dengan harta menumpuk dan fasilitas-fasilitas mewah yang disiapkan dengan memeras keringat rakyat. Bung karno lebih memilih meringkuk dalam hotel prodeo suka miskin daripada menghentikan perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia. Para pejuang tidak pernah merasa puas dengan satu tubuh, satu jiwa, satu ruh, yang dapat mereka korbankan untuk bangsa.
            Banyak diantara kita yang telah mengabaikan perjuangan masa lalu dan terbuai oleh kemewahan, gedung-gedung yang menjulang tinggi serta segala hal lain yang menyilaukan di ibu kota. Banyak diantara kita yang kehilangan rasa cinta tanah air serta empati terhadap orang lain. Jurang diantara kita sudah terlalu dalam, diluar sana masih banyak rakyat miskin yang kelaparan, diantara mereka ada yang hanya memperoleh 1000 rupiah per hari untuk kehidupan mereka jauh dari garis kemiskinan yang ditetapkan dunia Internasional yaitu dua dollar per hari, dilain sisi banyak diantara kita khususnya para selebritis yang bersedia mengeluarkan ratusan juta rupiah hanya untuk sebuah tas saja. Perjuangan belum berakhir, kemerdekaan belum sepenuhnya kita dapat, saat ini kita terjebak oleh kamuflase dan pesta semalam yang enggan berakhir. Pidato Boediono dua tahun lalu telah jelas mengatakan bahwa kita sedang dijajah dalam bentuk lain.
            Menurut kalian apa yang menjajah kita sekarang? Apakah ideologi keagamaan yang belakangan ditakutkan dengan segala tindak terornya?  Dengan terang dan jujur kami menjawab tidak. Mereka yang menggunakan Agama adalah mereka yang tersesat dengan konstelasi politik internasional yang disutradarai oleh negara super power dengan segala macam strateginya, ingatlah kawan membunuh satu nyawa sama dengan melenyapkan kemanusiaan. Mereka menganggap kita sedang perang fisik dan wajib untuk berjihad. Apa salahnya dengan jihad? Bung tomo dan Cut Nyak Dien menggunakan kata jihad dalam memerangi penjajah, namun itu berlangsung ketika kita dijajah secara fisik. Saat ini kita dijajah secara halus namun efektif, melalui ekonomi secara perlahan kita dirusak oleh pihak asing, maka perlawanan yang dilakukan adalah dengan revolusi pola pikir. Runtuhnya das capital oleh paham kapitalisme menjebak kita dalam korporatokrasi negara lain, dengan bantuan teknokrat yang gemar berpolitik serta para penguasa dan pemburu rente di negeri ini yang menjelma sebagai antek-antek penjajah masa lalu menggerogoti kekayaan bangsa kita. Bung Karno dalam salah satu pidatonya pernah berkata “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Kami mencoba menjelaskan apa yang terjadi saat ini meskipun tidak terlalu runtut dan jelas namun tentang hal ini telah ditulis dalam banyak judul buku yang dengan mudah dapat kita peroleh bahkan dengan cuma-cuma.  
            Saat ini bendera pusaka berkibar jauh dari tanah air kita, bukan dengan kebanggaan melainkan harap iba agar diakui. Kolong jembatan Arab menjadi tempat naungan bagi keluarga kita bagian dari bangsa Indonesia yang terusir dari tanah mereka oleh keadaan yang seakan sengaja diciptakan. Banyak diantara mereka yang mati karena kelaparan, jasad mereka hanya tergeletak tak terurus bahkan diantaranya terdapat jasad anak-anak yang dibuang ditempat sampah. Apalah arti bendera jikalau mereka menderita, pernahkah dalam benak mereka merasa lelah menjadi bagian dari kita, lelah dalam mendukung Pancasila? Tentulah jawabannya begitu nyata terlihat ketika tetasan peluh dan air mata menderai berai dibawah kibaran bendera. Sementara itu pernah terdengar celetukan dari mulut tanpa merasa berdosa berkata bahwa “Aku bukan Nasionalis Aku Internasionalis”, begitu besar keinginannya untuk mendunia hingga ego tak terbendung oleh jerit tangis kemiskinan. Teringat suatu dialog dalam film God of War ( "Internasionalis sejati adalah mereka yang dengan senang hati menjual amunisi untuk membantai bangsanya sendiri" ). Telinga ini kemudian kuncup dengan sendirinya merasa malu dengan ucapan yang tak bertanggungjawab dengan jati dirinya sendiri.
            Sudah saatnya kita merubah paradigma berpikir kita, menciptakan kepribadian dan prestasi dengan orientasi kedepan, terutama bagi kita mahasiswa sebagai kaum intelektual yang diharapkan menciptakan perubahan dan perbaikan bangsa. Kita tidak perlu berjuang secara fisik seperti pada saat melawan penjajah sebagai bentuk rasa cinta tanah air, nasionalisme bukan hanya terkait masa lalu tetapi juga masa depan. Jangan terjebak dengan indoktrinasi yang membuat lupa dengan jati diri bangsa yang sebenarnya dan menghilangkan rasa cinta tanah air serta empati terhadap orang lain, janganlah menatap masa depan dengan mata yang buta. Sekali lagi perjuangan kita belum berakhir, pun dengan mengorbankan satu jiwa dan raga tak akan bisa menghentikan langkah kita. Mari bangkit dan berjuang…
Merdeka…!!!
Hidup Mahasiswa…!!!

       RIZKI REZZA FAHLEVI


Jumat, 04 Februari 2011

resensi buku

Jatidiri Hilang Bersama Falsafah yang Pudar



           Memasuki masa kontemporer, sungguh merupakan suatu tantangan yang berat, terutama bagi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika seperti bangsa Indonesia. Keteguhan prinsip sangat dibutuhkan agar tetap dapat bertahan ditengah ombak modernisasi yang begitu menderu. Sedikit saja goyah maka gelombang dahsyat siap menyapu siapa saja dan menghantamkannya ke pinggiran karang tajam peradaban. Arus degradasi yang tidak dapat dibendung, menggerus ideologi yang telah lama ditanamkan oleh para pendiri bangsa.             
           Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk perubahan yang selalu bersifat dinamis. Perkembangan dari masa ke masa, perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, hingga perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain menjadi harga mati dalam sebuah kehidupan. Mobilitas merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia. Hidup stagnant dalam keterpurukan akan menciptakan rasa prustasi yang berkepanjangan dan pada akhirnya akan menghilangkan esensi manusia sebagai makhluk yang hidup.
          Perubahan merupakan kodrat yang harus dipenuhi. Dalam proses menuju perubahan akan timbul banyak kendala, oleh karena itu perlu suatu pegangan agar tidak kebablasan dan kehilangan jati diri. Untuk mempertahankan ciri maka diperlukan suatu kendali. Kemampuan mengendalikan diri diperoleh dari pembelajaran falsafah hidup.
          Dalam era globalisasi, disaat batas-batas antar negara mulai pudar, kemampuan filterisasi setiap bangsa sedang di uji, mengingat budaya, kebiasaan, ataupun falsafah-falsafah dari luar mulai berintegrasi dengan budaya lokal. Keadaan yang paling terlihat saat ini yaitu budaya-budaya yang berasal dari negara adidaya menjalar memasuki negara-negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia. Saat ini Indonesia sedang mengalami perubahan kultur yang sangat kritis, terlihat dari gaya hidup masyarakat yang konsumtif dan tidak lagi sesuai dengan kepribadian bangsa. Tayangan televisi yang banyak meniru tayangan-tayangan dari luar ikut andil dalam mempercepat degradasi budaya nasional.
          Budaya nasional telah lama tersisih dari perhatian masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari anggota masyarakat khususnya para remaja dicekoki budaya-budaya asing, sehingga hilanglah rasa bangga terhadap budaya sendiri. Bagi pihak-pihak lain yang sadar akan potensi budaya di Indonesia, menjadi suatu kesempatan agar dapat mencomot budaya-budaya yang terbengkalai itu. Manfaat yang diperoleh pihak lain dalam menggunakan budaya yang terlupakan itu ternyata begitu besar dan mendapat perhatian dari seluruh dunia, sehingga barulah pemilik asli dari kebudayaan tersebut mengklaim dan timbulah konflik antara keduanya. Melihat keadaan tersebut kemudian timbul pertanyaan tentang siapa yang salah, untuk menjawabnya perlu cermin yang besar agar tidak saling menyalahkan. Mengetahui kesalahan sendiri merupakan satu langkah awal dalam melakukan perbaikan.
          Dalam buku berjudul Bunga Rampai Kehidupan, Rien Guritno seorang perfecsionist yang juga memprakarsai kelompok pecinta budaya bangsa dengan semangat transfer of knowledge menorehkan keprihatinannya terhadap budaya bangsa yang semakin terpinggirkan. Harapan untuk perbaikan bangsa khususnya budaya nasional ditularkan melalui tulisan yang sederhana namun memiliki makna yang sangat penting. Dalam usia senja dan disertai dengan segala keterbatasannya, beliau tetap berusaha memberikan stimulus-stimulus terutama bagi kaum muda agar dapat menemukan jatidiri dalam mempertahankan ciri bangsa.
          Buku yang banyak memuat mengenai falsafah hidup terutama ajaran hidup jawa ini, mengarahkan pembaca kepada suatu proses awal yang disebut mulat sarira yaitu proses mengenal diri. Pada hakekatnya manusia sudah diberikan kemampuan dalam menilai baik dan buruk, namun dalam kadar yang berbeda. Keberadaan falsafah adalah untuk mempertajam kemampuan tersebut.      Dalam prakteknya terdapat banyak falsafah di dunia, berkembang berdasarkan kebudayaan di masing-masing daerah. Tugas kita adalah memilih yang cocok bagi kita saat ini ataupun nanti, untuk memulainya harus dengan mengenal diri sendiri.
          Buku tersebut tidak hanya memuat falsafah jawa, akan tetapi juga memuat falsafah-falsafah lain. Terlihat pada setiap awal bab penulis menambahkan kata-kata bijak yang tidak hanya bersumber dari kearifan lokal. Penulis tidak secara terang mengatakan bahwa budaya asing tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Pada dasarnya ada budaya asing yang dapat diterapkan, namun tidak mudah dalam memberikan penilaian terhadapnya. Sesuatu yang secara sepintas baik, kedepannya belum tentu akan tetap baik. Pemikiran yang futuristik diperlukan dalam memberikan penilaian. Penulis mencontohkan pada halaman 7 dalam bukunya, bahwa perilaku anak-anak di negara lain yang terlihat begitu mandiri, sepintas memang terlihat baik, namun sisi negatifnya adalah ketika anak tersebut dewasa kemandirian itu mengarah pada sikap individualis, kesimpulannya yaitu pilihan terbaik bagi kita adalah kombinasi kemandirian dengan kekeluargaan sehingga muncul nilai-nilai toleransi seperti dalam budaya kita.
          Rien Guritno hidup dilingkungan akademis, sehingga tulisannya banyak  dikaji dari bidang pendidikan. Buku ini menceritakan tentang pengalaman-pengalaman hidup penulis, meskipun demikian buku ini mengandung nilai edukasi yang tinggi. Penulis lebih menekankan pada pendidikan dini dilingkungan keluarga serta fungsi setiap anggota keluarga misalnya pada halaman 3 menyebutkan bahwa seorang ayah yang seharusnya memiliki fungsi Among, Amangku, dah Amandulang ( fungsi memelihara dan menjaga ). Keadaan miskomunikasi antara orangtua dan anak akan dapat mempengaruhi kepribadian anak tersebut dimasa depan, seperti yang sering terjadi saat ini dimana kesibukan orangtua mengalahkan perhatiannya terhadap anak, sihingga anak menjadi angkuh dan acuh.
          Sekelumit pemaparan tersebut adalah beberapa nilai yang terkandung dalam buku ini. Begitu banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam buku ini terutama bagi orangtua dalam menanamkan kepribadian terhadap anak. Kepribadian yang sesuai dengan ciri bangsa seharusnya dibentuk mulai dini. Upaya pendidikan dini tersebut merupakan langkah preventif untuk mencegah pudarnya nilai-nilai budaya nasional, sedangkan langkah represifnya yaitu dengan mencari jatidiri melalui pengenalan terhadap budaya sendiri. Buku ini sangat menarik, hanya saja jarang ditemukan falsafah dari daerah lain, akan lebih baik apabila penulis menambahkan falsafah dari budaya-budaya lain di Indonesia yang begitu beragam.  Akhirnya yang menjadi harapan ditulisnya buku  ini yaitu agar pembaca menjadi diri sendiri serta bangga dan ikut mempertahankan budaya bangsa.