Kamis, 25 Oktober 2012

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BEKERJA DI BIDANG KONSTRUKSI


I. LATAR BELAKANG
Children are the living messages we send to a time we will not see (anak adalah pesan hidup yang kita kirim untuk masa yang tidak kita lihat)[1], begitulah John W Whitehead menggambarkan pentingnya anak sebagai generasi penerus sekaligus aset terbesar untuk masa depan. Dalam pandangan yang visioner, anak merupakan bentuk investasi yang menjadi indikator keberhasilan suatu bangsa dalam melaksanakan pembangunan. Keberhasilan pembangunan anak akan menentukan kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang, oleh karena itu upaya pembangunan anak harus dimuali sedini mungkin mulai dari kandungan hingga tahap-tahap tumbuh kembang selanjutnya.
Anak sebagai golongan rentan memerlukan perlindungan terhadap hak-haknya. Sebagaimana diketahui manusia adalah pendukung hak sejak lahir, dan diantara hak tersebut terdapat hak yang bersifat mutlak sehingga perlu dilindungi oleh setiap orang. Hak yang demikian itu tidak terkecuali juga dimiliki oleh anak, namun anak memiliki hak-hak khusus yang ditimbulkan oleh kebutuhan-kebutuhan khusus akibat keterbatasan kemampuan sebagai anak. Keterbatasan itu yang kemudian menyadarkan dunia bahwa perlindungan terhadap hak anak mutlak diperlukan untuk menciptakan masa depan kemanusiaan yang lebih baik.
Dalam sejarah dunia, terdapat catatan kelam mengenai anak di bidang ketenagakerjaan. Sistem kerja tidak manusiawi atau perbudakan menimpa anak-anak dengan modus perdagangan manusia (trafficking) terutama di kawasan timur tengah. Iqbal Masih, anak berusia 10 tahun tercatat sebagai salah satu pahlawan dunia dalam memberantas perbudakan anak. Tiga ribu budak anak di Pakistan berhasil dibebaskannya setelah ia sendiri lolos dari perbudakan yang juga menimpa dirinya. Tragisnya pada umur 12 tahun, Iqbal Masih di bunuh oleh jaringan mafia karena di nilai menjadi propaganda dan pengaruh negatif bagi pekerja anak. Pasca pembunuhan tersebut, tidak lantas menyurutkan semangat dalam menghapuskan praktek perbudakan terhadap anak, bahkan dunia semakin membuka mata terhadap pentingnya perlindungan hak anak. Semangat perlindungan bagi anak tidak lagi hanya dalam hal penghapusan perbudakan anak, akan tetapi meningkat menjadi semangat penghapusan pekerja anak.
Bukti akan adanya semangat penghapusan pekerja anak, salah satunya dapat ditemukan pada Konvensi ILO No.138 tentang Usia Minimum dipebolehkan Bekerja. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa setiap negara anggota konvensi tersebut menanggung kewajiban untuk menempuh kebijakan nasional dalam menghapuskan pekerja anak. Dalam konvensi tersebut memang terdapat beberapa ketentuan yang fleksibel bagi negara-negara dengan kondisi tertentu, namun hal tersebut tidak mengurangi semangat penghapusan pekerja anak.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota konvensi tersebut tentu harus memberlakukan kebijakan nasional sebagaimana dimaksud dalam konvensi. Perihal larangan mempekerjakan anak telah disebutkan dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Di dalam pengaturan tersebut terdapat beberapa pengecualian dalam mempekerjakan anak, diantarnya yaitu perihal umur, jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan lain sebagainya. Hal yang perlu diperhatikan bahwa baik di dalam konvensi maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia menyebutkan adanya pekerjaan terburuk yang tidak dapat diterapkan kepada anak. Salah satu pekerjaan terburuk bagi anak adalah pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan di bidang konstruksi sangat berpotensi mengancam keselamatan dan kesehatan dalam bekerja, oleh karena itu pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan dikerjakan oleh anak-anak. Tindakan mempekerjakan anak dalam pekerjaan terburuk bagi anak dikategorikan sebagai kejahatan, oleh karena itu setiap pelanggar ketentuan tersebut akan dikenai sanksi pidana. Permasalahannya adalah bagaimana jika anak bekerja di bidang konstruksi untuk membantu orang tuanya, karena dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga disebutkan mengenai anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Hal lain yang menjadi permasalahan yaitu mengenai definisi pekerja anak itu sendiri yang dalam tanda kutip berbeda dengan makna anak yang bekerja.
Ketidakjelasan status “anak  yang bekerja”, tentunya akan berdampak pada perlindungan yang diberikan terhadapnya. Praktek demikian telah terjadi pada proyek pembangunan perumahan Citra Pesona Tiga di kota Banyuwangi oleh PT. Srikandi Blambangan, di mana seorang anak bekerja membantu orang tuanya yang mendapat pekerjaan borongan untuk membangun beberapa rumah dalam jangka waktu tertentu, namun karena jumlah pekerja tidak mencukupi untuk menyelasaikan bangunan rumah pada waktunya, sehingga anak dan isteri dari tukang bangunan tersebut ikut membantu dalam mengerjakannya. Kondisi tersebut tentu akan sangat beresiko bagi anak meskipun dilakukan dengan sukarela.


II. PERMASALAHAN
  Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penulisan ini ditentukan beberapa rumusan masalah, antara lain :   
  • Apakah anak yang bekerja membantu orang tuanya pada proyek pembangunan perumahan Citra Pesona Tiga dapat dikategorikan sebagai pekerja anak? 
  • Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang bekerja di bidang konstruksi? 

 
III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A.    PERBEDAAN MAKNA PEKERJA ANAK DENGAN ANAK YANG BEKERJA
 Anak merupakan salah satu tahap dari perkembangan fisik dan mental manusia. Anak dikonotasikan sebagai manusia yang belum mencapai kematangan fisik, kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental. Dalam peraturan perundang-undangan pengertian anak dikaitkan dengan pembatasan usia. Berikut adalah beberpa pembatasan usia anak dalam peraturan perundang-undangan[1] :
·         Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, batas usia anak adalah 18 tahun dan belum kawin.
·         Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia anak adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki dan belum kawin.
·         Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, batas usia anak adalah 18 tahun dan belum kawin.
·         Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), batas usia anak adalah 21 tahun dan belum kawin.
·         Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, batas usia anak adalah 21 tahun dan belum kawin.
·         Keputusan Presiden Republik Indonesia No.36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention of the rights (konvensi tentang hak-hak anak), batas usia anak adalah di bawah 18 tahun.
·         Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, batas usia anak adalah di bawah/ belum berusia 18 tahun, termasuk didalamnya mereka yang masih dalam kandungan Ibu.
·         Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, batas usia anak adalah 18 tahun dan belum kawin.
Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, batas usia anak adalah 18 tahun. Pada dasarnya mempekerjakan anak adalah suatu tindakan yang dilarang, namun dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 disebutkan pengecualian mengenai larangan mempekerjakan anak, yaitu :
Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.
(2) Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 memang tidak disebutkan pengertian yuridis mengenai pekerja anak, namun dari ketentuan-ketentuan pengecualian terhadap larangan mempekerjakan anak, secara tidak langsung telah memberikan pengertian tersebut. Pekerja anak secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu pekerja dan anak. Darwan Prints yang menyatakan bahwa pekerja adalah orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya[2]. Selaras dengan itu, dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 diartikan “sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Makna kata “setiap orang” dalam hal ini juga berlaku untuk anak sepanjang anak yang dimaksud sesuai dengan pengecualian dalam Undang-Undang terhadap larangan mempekerjakan anak. Dari hal tersebut kemudian dapat ditarik mengenai makna pekerja anak yaitu setiap anak berusia 13 tahun sampai dengan 15 tahun yang bekerja pada orang lain dan mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain, yang sifat pekerjaan dan syarat kerjanya telah ditentukan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003. Alasan mengapa terdapat larangan bekerja bagi anak, antara lain[3] :
·         Tidak ada waktu atau terlalu lelah untuk belajar dan bersekolah.
·         Hilangnya kesempatan untuk memasuki dunia sekolah.
·         Keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan secara dini cenderung rawan disalahgunakan.
·         Berbahaya dan mengganggu perkembangan fisik, psikologis dan sosial anak.
·   Dapat merusak pertumbuhan fisik dan mental karena lelah, memikul beban yang berat, berada di lingkungan kerja yang tidak mendukung perkembangan fisik, psikis dan moralnya.
·       Kehadiran pekerja anak dapat mengakibatkan kemiskinan, tenaga kerja tidak terampil dan berpendidikan rendah.
·         Anak mungkin akan mengalami siksaan, dikucilkan atau diperlakukan buruk di tempat kerja.
·      Anak-anak akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang kurang sehat, kurang dapat bersosialisasi dan secara emosional terganggu.
·        Meningkatnya jumlah pekerja anak akan memicu hambatan dinamika proses pembangunan SDM di masa depan.
·         Pertambahan jumlah pekerja anak akan mengurangi kesempatan kerja orang dewasa.
Makna pekerja anak berbeda dengan anak yang bekerja. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Indaryati dan Lisna melalui definisinya tentang pekerja anak yang diartikan sebagai anak yang aktif bekerja, yang membedakannya dengan anak yang pasif bekerja, karena tidak semua pekerjaan yang dilakukan oleh anak dapat menjadikan anak sebagai pekerja[4] [bdk. Indaryati dan Lisna (eds), 2005:75].  Pekerja anak berada di dalam lingkup anak yang bekerja, namun pekerja anak dilakukan dengan legal dan berdasarkan pada Undang-Undang, sedangkan anak yang bekerja lebih condong pada pengertian yang lebih luas dan tidak terikat dengan ketentuan atau syarat-syarat yang diharuskan dalam Undang-Undang. Sebagai contoh adalah anak yang bekerja pada usaha keluarganya sebagaimana disebut dalam Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, di mana anak yang bekerja pada usaha keluarganya tidak terikat untuk memenuhi beberapa syarat dalam Pasal 69 ayat (2), hanya saja tetap terikat pada syarat waktu kerja yaitu tiga jam pada siang hari dan tidak menganggu jam sekolah.
Contoh lain yang lebih ekstreme yaitu anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pelaksana pekerjaan rumah tangga, yang dalam bahasa universal disebut sebagai pekerja rumah tangga, namun apabila dilihat dari segi legalitasnya kata membantu lebih cocok karena dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia pekerja rumah tangga tidak dimasukan dalam ruang lingkup pengaturannya. Konsep pembantu rumah tangga tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum ketenagakerjaan, dengan alasan bahwa hubungan antara majikan dengan pelaksana pekerjaan rumah tangga adalah hubungan kekeluargaan. Hal tersebut memang menjadi permasalahan hingga saat ini termasuk dalam hal perlindungan anak, di mana anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak lagi harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan karena statusnya bukan sebagai pekerja. 
 Hal serupa juga terjadi pada sistem kerja “putting out”, dimana pekerja dapat membawa pulang pekerjaannya dan menyelesaikannya di rumah. Dalam prosesnya, pekerja tersebut dibantu oleh anggota keluarganya, namun apakah anggota keluarganya tersebut dapat juga dikatakan sebagai pekerja, sedangkan ia tidak memperoleh upah sebagaimana dinyatakan Undang-Undang dalam pengertian pekerja. Permasalahan ini sebenarnya merupakan keterbatasan dalam pengaturan, di mana suatu peraturan tidak lagi dapat menjawab permasalahan dalam masyarakat.
Dalam kasus anak yang bekerja di proyek pembangunan perumahan Citra Pesona Tiga di Kota Banyuwangi, melalui wawancara tidak terstruktur dapat diketahui beberapa fakta, antara lain[5] :
·         Anak tersebut bekerja untuk membantu menyelesaikan pekerjaan borongan orangtuanya (Ayahnya) yang berprofesi sebagai Tukang Batu (pekerja bangunan) dalam membangun rumah yang harus selesai dalam waktu dua bulan untuk satu rumah.
     Anak tersebut tidak menerima upah, yang menerima upah adalah orangtuanya (ayahnya) yaitu sebesar Rp.6.000.000,- untuk satu rumah.
·     Anak tersebut tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja yaitu PT.Srikandi Blambangan, hubungan kerja hanya berlaku bagi orangtuanya (ayahnya) dengan PT.Srikandi Blambangan berupa hubungan pemborongan kerja.
·         Anak tersebut bekerja pada waktu sepulang sekolah dan hari libur tanpa batasan waktu (berhenti jika lelah).
·         Anak tersebut berusia 14 Tahun dan saat ini duduk di bangku kelas VIII SMP.
·         Anak tersebut bekerja bersama Ayah, Ibu dan kedua pekerja lain sebagai asisten bangunan (Kuli bangunan).
Dari beberapa fakta tersebut cukup kiranya menyebutkan bahwa anak bersangkutan bukanlah termasuk dalam kategori pekerja anak. Selain itu dalam beberapa peraturan perundang-undangan pekerjaan di bidang konstruksi sebenarnya merupakan salah satu pekerjaan terburuk yang dalam pasal 74 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak dapat mempekerjakan atau melibatkan anak. Perihal cakupan materi Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dan peratuaran perundang-undangan lain yang dapat digunakan sebagai bentuk perlindungan bagi anak tersebut akan di bahas pada sub bab selanjutnya.


[1] Waluyadi, 2009, Hukum Perlindungan Anak, CV.Mandar Maju, Bandung. Hal.3
[2] Darwan Prints, 2000, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal.20
[3] Sulaiman Zuhdi Manik, 2009, Larangan Mempekrjakan Anak (online), www.blogger.com (29 Mei 2012)
[4]
[5] Wawancara tidak terstruktur dengan anak yang bekerja di proyek pembangunan perumahan Citra Pesona Tiga.


A.    PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK  YANG BEKERJA DI BIDANG KONSTRUKSI
Konsep mengenai perlindungan hukum belum memiliki batasan-batasan yang diakui secara keilmuan. Selaras dengan hal itu, Harjono berpendapat bahwa Para pengkaji hukum belum secara komprehensif mengembangkan konsep “perlindungan hukum” dari perspektif keilmuan hukum. Banyak tulisan-tulisan yang dimaksudkan sebagai karya ilmiah ilmu hukum baik dalam tingkatan skripsi, tesis, maupun disertasi yang mempunyai tema pokok bahasan tentang “perlindungan hukum”. Namun tidak secara spesifik mendasarkan pada konsep-konsep dasar keilmuan hukum secara cukup dalam mengembangkan konsep perlindungan hukum. Bahkan dalam banyak bahan pustaka, makna dan batasan-batasan mengenai “perlindungan hukum” sulit ditemukan, hal ini mungkin didasari pemikiran bahwa orang telah dianggap tahu secara umum apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum sehingga tidak diperlukan lagi sebuah konsep tentang apa yang dimaksud “Perlindungan Hukum”[1].
Perlindungan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal protection dan dalam bahasa Belanda disebut rechtsbecherming. Harjono mencoba untuk memberikan pengertian terhadap perlindungan hukum yaitu sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum”[2]. Dengan kata lain perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan dengan berlandaskan pada hukum dan Undang-Undang.
Manusia adalah pendukung hak sejak lahir, begitu pula dengan anak. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap orang sebagai suatu pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu setiap orang harus mempertahankannya agar tidak kehilangan eksistensinya sebagai seorang manusia. Pencerahan dari adanya hak tersebut telah melalui sejarah panjang. Hak Asasi Manusia bermula pada berkembangnya aliran filsafat liberal yang bercorak individualistik[3]. Dalam aliran tersebut Hak Asasi Manusia diartikan sebagai hak yang mendasari kehidupan manusia sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat, sedangkan manusia itu sendiri diartikan sebagai makhluk yang terlahir dengan kebebasan.
Konsep Hak Asasi Manusia yang demikian tadi, menimbulkan efek bagi sifat hukum yang cenderung mempertahankan netralitas, dengan kata lain berusaha untuk tidak ikut mencampuri proses-proses dalam masyarakat, seperti semboyan yang berbunyi laissez fair laissez yang artinya biarlah semua berjalan sendiri dengan bebas[4]. Dalam kondisi seperti itu maka intervensi dalam bentuk apapun menjadi terlarang termasuk intervensi dari negara, yang menjadi prioritas adalah interaksi bebas antar individu dalam masyarakat. Negara hanya berperan sebagai negara formil yaitu hanya sebagai “Penjaga Malam”.
Pada perkembangannya muncul ketidakpuasan dari masyarakat atas konsep yang cenderung menyerahkan semua kepada mekanisme pasar. Masyarakat menginginkan agar hukum juga aktif berperan dalam menyejahterakan masyarakat. Hal ini yang kemudian menghasilkan konsep tentang Negera Kesejahteraan (welfare state). Hukum ikut campur tangan dalam upaya-upaya untuk menyejahterakan masyarakat. Soehino menyebutkan bahwa tujuan dari negara kesejahteraan adalah kesejahteraan umum, dimana negara memiliki apa yang dinamakan dengan freis emessen yaitu kebebasan bertindak atas inisiatif dan kebijakannya sendiri, meskipun kemudian menyebabkan perturan perundang-undangan tidak lagi mengikat secara mutlak[5].
Berdasarkan hal itu juga kemudian lahir konsep Hak Asasi Manusia modern, dimana Hak Asasi Manusia bukan lagi representasi dari individualisme dan liberalisme. Konsep Hak Asasi Manusia saat ini dimaknai sebagai hak-hak manusiawi yang melekat dengan harkat kemanusiaan apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan sebagainya. Dengan pemahaman ini, maka muncul konsep modern tentang HAM yaitu[6],
Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings. (Secara umum hak asasi manusia dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia ; yang bila tidak ada, mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia).
Dengan demikian maka Hak Asasi Manusia menjadi hak yang mendasari kehidupan manusia, sehingga setiap orang memiliki hak tersebut dan wajib mempertahankannya. Sebagai hak dasar maka tidak boleh terjadi pelanggaran oleh siapapun terhadap hak tersebut. Hak untuk hidup adalah hak yang paling Asasi yang dimiliki oleh setiap orang. Hak tersebut kemudian berkembang menjadi hak-hak yang lain dalam kehidupan bernegara di bidang politik, ekonomi-sosial dan budaya, salah satunya adalah mengenai hak asasi anak.
Hak-hak anak merupakan Hak Asasi Manusia karena anak adalah manusia yang dilahirkan dari setiap ibu dan berhak memperoleh hak-haknya karena hak-hak anak pada hakekatnya melekat pada diri setiap anak tersebut. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk juga anak yang masih dalam kandungan sehingga anak sangat perlu dilindungi dari segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Pengertian perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam pengertian ini tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi[7] (Rahmat, 2007). Ruang lingkup perlindungan hukum terhadap anak sangat luas. Ruang lingkup tersebut dapat diketahui dari makna perlindungan hukum terhadap anak itu sendiri. Perlindungan hukum terhadap anak dimaknai sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedom of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.[8] Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui lingkup perlindungan hukum bagi anak, mencakup :
·         Perlindungan terhadap kebebasan anak
·         Perlindungan terhadap hak asasi anak
·         Perlindungan hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan anak.
Hak anak dipengaruhi pula oleh kekhususannya sebagai seorang anak, namun hal tersebut tidak mengurangi kesempatan anak untuk mendapatkan hak warga negara sebagaimana dituangkan dalam konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945. Hak-hak warga negara tersebut harus dimaknai secara luas, dimana hak-hak tersebut tidak hanya dimonopoli oleh manusia dewasa, akan tetapi juga diperuntukan bagi anak sepanjang dapat dilaksanakan, diterima dan bermanfaat bagi anak.[9] Hak untuk bekerja adalah salah satu hak yang berdasarkan karakteristik anak belum dapat diterima oleh anak, namun hal tersebut tidaklah bersifat mutlak, karena pada dasarnya terdapat pekerjaan yang berdasarkan sifatnya membawa manfaat bagi anak. Pekerjaan yang membawa manfaat bagi anak diantaranya adalah pekerjaan yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan (Pasal 70 Undang-Undang No.13 Tahun 2003), pekerjaanuntuk mengembangkan bakat dan minat (Pasal 71 Undang-Undang No.13 Tahun 2003), dan lain sebagainya.
Kontradiktif dengan hal tersebut yaitu pekerjaan yang sifatnya terburuk bagi anak, maka jenis-jenis pekerjaan yang demikian tidak dapat diterapkan pada anak dengan alasan apapun, meskipun dibenturkan dengan hak untuk hidup yang notabene hak pokok dari Hak Asasi Manusia, karena hal tersebut merupakan tanggungjawab negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Penghapusan pekerjaan terburuk bagi anak telah disepakati secara universal, terlihat dari adanya Konvensi ILO No.182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Indonesia dalam memberikan perlindungan bagi anak terhadap pekerjaan terburuk dicantumkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain :
Pasal 74 UU No.13 Tahun 2003
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang berburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya.
b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian.
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, mengklasifikasikan jenis-jenis pekerjaan terburuk untuk anak yaitu:
a.       Anak yang dilacurkan
b.       Anak yang bekerja di pertambangan
c.       Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara
d.      Anak yang bekerja di sektor konstruksi
e.       Anak yang bekerja di jermal
f.       Anak yang bekerja sebagai pemulung sampah
g.      Anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan menggunakan bahan peledak
h.      Anak yang bekerja di jalanan
i.        Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
j.        Anak yang bekerja di industri rumah tangga
k.       Anak yang bekerja di perkebunan
l.        Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu
m.    Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235 tahun 2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak mengklasifikasikan pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu kepada anak yaitu:
a.       Pekerjaan konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan
b.       Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat
c.       Pekerjaan mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan diatas 10 kg untuk anak perempuan
d.      Pekerjaan dalam bangunan tempat kerja yang terkunci
e.       Pekerjaan penangkapan ikan di lepas pantai atau di perairan laut dalam
f.       Pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil
g.      Pekerjaan di kapal
h.      Pekerjaan yang dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas
i.        Pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00-06.00
Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 74 UU No.13 Tahun 2003, yaitu
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejabatan.
            Tujuan dari perlindungan terhadap anak dalam hukum ketenagakerjaan adalah agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan penerus bangsa[10]. Permasalahannya yaitu ruang lingkup hukum ketenagakerjaan yang hanya meliputi pekerja anak ataukah meliputi pula pengertian anak yang bekerja secara luas. Seperti halnya dalam kasus anak yang bekerja di proyek pembangunan perumahan Citra Pesona Tiga di kota Banyuwangi, dapatkah ketentuan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 diterapkan.
            Dalam menjawabnya, maka merujuk pada steatment pemerintah pada permohonan judicial review terhadap ketentuan outsourcing, bahwa ruang lingkup hukum ketenagkerjaan harus ditafsirkan luas, bukan hanya perihal pekerja sebelum bekerja, ketika bekerja, dan setelah bekerja, akan tetapi juga meliputi kepentingan masyarakat. Berdasarkan hal  tersebut maka perihal anak yang bekerja secara luas juga termasuk dalam lingkup pengaturan hukum ketenagakerjaan. Selain itu dalam klausul Pasal 74 menyebutkan kata “setiap orang”, yang harus dimaknai secara luas pula yakni bukan hanya pengusaha, akan tetapi juga dapat diterapkan pada pihak lain yang bertanggungjawab terhadap perlindungan hak anak berdasarkan Undang-Undang diantaranya Pemerintah, Orangtua, Keluarga, dan Masyarakat. Pasal 74 juga  menyebutkan klausul “melibatkan”, sehingga ketentuan tersebut tidak hanya semata-mata berlaku pada pengusaha yang mempekerjakan, akan tetapi juga orang yang melibatkan anak dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Ketentuan dalam pasal lain yang menunjukan bahwa hukum ketenagakerjaan juga melingkupi anak yang bekerja dalam artian yang luas, yaitu pasal 75 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Pemerintah wajib menanggulangi anak-anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Berdasarkan hal tersebut, apabila dalam kasus tersebut kemudian timbul resiko terhadap anak, maka orang tua yang bertanggungjawab bukan pengusaha, karena tidak ada hubungan kerja antara pengusaha dengan anak. orang tua yang melibatkan anak dalam pekerjaan, oleh karena itu sanksi dapat diterapkan kepadanya, apabila perlu dapat pula diberlakukan ketentuan pencabutan kekuasaan orang tua dalam mengasuh anak berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, oleh karena ia tidak dapat menunjukan tanggung jawab atas kesejahteraan anaknya.
           


[1] Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Penerbit  Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi. Hal.373.
[2] Ibid Hal.357
[3] Satjipto Rahardjo, 2008,  Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
[4] Ibid
[5] M. As Hikam;dkk, 2000, Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal.40
[6] Tri Widodo  W. Utomo, 1998, Hak Asasi Manusia, Lembaga Administrasi Negara Perwakilan Jawa Barat. Hal.4
[7]
[8] Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal.153
[9] Waluyadi, 2009, Hukum Perlindungan Anak, CV.Mandar Maju, Bandung. Hal.2
[10] Lalu Husni, 2005, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hal.108