Jumat, 04 Februari 2011

resensi buku

Jatidiri Hilang Bersama Falsafah yang Pudar



           Memasuki masa kontemporer, sungguh merupakan suatu tantangan yang berat, terutama bagi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika seperti bangsa Indonesia. Keteguhan prinsip sangat dibutuhkan agar tetap dapat bertahan ditengah ombak modernisasi yang begitu menderu. Sedikit saja goyah maka gelombang dahsyat siap menyapu siapa saja dan menghantamkannya ke pinggiran karang tajam peradaban. Arus degradasi yang tidak dapat dibendung, menggerus ideologi yang telah lama ditanamkan oleh para pendiri bangsa.             
           Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk perubahan yang selalu bersifat dinamis. Perkembangan dari masa ke masa, perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, hingga perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain menjadi harga mati dalam sebuah kehidupan. Mobilitas merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia. Hidup stagnant dalam keterpurukan akan menciptakan rasa prustasi yang berkepanjangan dan pada akhirnya akan menghilangkan esensi manusia sebagai makhluk yang hidup.
          Perubahan merupakan kodrat yang harus dipenuhi. Dalam proses menuju perubahan akan timbul banyak kendala, oleh karena itu perlu suatu pegangan agar tidak kebablasan dan kehilangan jati diri. Untuk mempertahankan ciri maka diperlukan suatu kendali. Kemampuan mengendalikan diri diperoleh dari pembelajaran falsafah hidup.
          Dalam era globalisasi, disaat batas-batas antar negara mulai pudar, kemampuan filterisasi setiap bangsa sedang di uji, mengingat budaya, kebiasaan, ataupun falsafah-falsafah dari luar mulai berintegrasi dengan budaya lokal. Keadaan yang paling terlihat saat ini yaitu budaya-budaya yang berasal dari negara adidaya menjalar memasuki negara-negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia. Saat ini Indonesia sedang mengalami perubahan kultur yang sangat kritis, terlihat dari gaya hidup masyarakat yang konsumtif dan tidak lagi sesuai dengan kepribadian bangsa. Tayangan televisi yang banyak meniru tayangan-tayangan dari luar ikut andil dalam mempercepat degradasi budaya nasional.
          Budaya nasional telah lama tersisih dari perhatian masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari anggota masyarakat khususnya para remaja dicekoki budaya-budaya asing, sehingga hilanglah rasa bangga terhadap budaya sendiri. Bagi pihak-pihak lain yang sadar akan potensi budaya di Indonesia, menjadi suatu kesempatan agar dapat mencomot budaya-budaya yang terbengkalai itu. Manfaat yang diperoleh pihak lain dalam menggunakan budaya yang terlupakan itu ternyata begitu besar dan mendapat perhatian dari seluruh dunia, sehingga barulah pemilik asli dari kebudayaan tersebut mengklaim dan timbulah konflik antara keduanya. Melihat keadaan tersebut kemudian timbul pertanyaan tentang siapa yang salah, untuk menjawabnya perlu cermin yang besar agar tidak saling menyalahkan. Mengetahui kesalahan sendiri merupakan satu langkah awal dalam melakukan perbaikan.
          Dalam buku berjudul Bunga Rampai Kehidupan, Rien Guritno seorang perfecsionist yang juga memprakarsai kelompok pecinta budaya bangsa dengan semangat transfer of knowledge menorehkan keprihatinannya terhadap budaya bangsa yang semakin terpinggirkan. Harapan untuk perbaikan bangsa khususnya budaya nasional ditularkan melalui tulisan yang sederhana namun memiliki makna yang sangat penting. Dalam usia senja dan disertai dengan segala keterbatasannya, beliau tetap berusaha memberikan stimulus-stimulus terutama bagi kaum muda agar dapat menemukan jatidiri dalam mempertahankan ciri bangsa.
          Buku yang banyak memuat mengenai falsafah hidup terutama ajaran hidup jawa ini, mengarahkan pembaca kepada suatu proses awal yang disebut mulat sarira yaitu proses mengenal diri. Pada hakekatnya manusia sudah diberikan kemampuan dalam menilai baik dan buruk, namun dalam kadar yang berbeda. Keberadaan falsafah adalah untuk mempertajam kemampuan tersebut.      Dalam prakteknya terdapat banyak falsafah di dunia, berkembang berdasarkan kebudayaan di masing-masing daerah. Tugas kita adalah memilih yang cocok bagi kita saat ini ataupun nanti, untuk memulainya harus dengan mengenal diri sendiri.
          Buku tersebut tidak hanya memuat falsafah jawa, akan tetapi juga memuat falsafah-falsafah lain. Terlihat pada setiap awal bab penulis menambahkan kata-kata bijak yang tidak hanya bersumber dari kearifan lokal. Penulis tidak secara terang mengatakan bahwa budaya asing tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Pada dasarnya ada budaya asing yang dapat diterapkan, namun tidak mudah dalam memberikan penilaian terhadapnya. Sesuatu yang secara sepintas baik, kedepannya belum tentu akan tetap baik. Pemikiran yang futuristik diperlukan dalam memberikan penilaian. Penulis mencontohkan pada halaman 7 dalam bukunya, bahwa perilaku anak-anak di negara lain yang terlihat begitu mandiri, sepintas memang terlihat baik, namun sisi negatifnya adalah ketika anak tersebut dewasa kemandirian itu mengarah pada sikap individualis, kesimpulannya yaitu pilihan terbaik bagi kita adalah kombinasi kemandirian dengan kekeluargaan sehingga muncul nilai-nilai toleransi seperti dalam budaya kita.
          Rien Guritno hidup dilingkungan akademis, sehingga tulisannya banyak  dikaji dari bidang pendidikan. Buku ini menceritakan tentang pengalaman-pengalaman hidup penulis, meskipun demikian buku ini mengandung nilai edukasi yang tinggi. Penulis lebih menekankan pada pendidikan dini dilingkungan keluarga serta fungsi setiap anggota keluarga misalnya pada halaman 3 menyebutkan bahwa seorang ayah yang seharusnya memiliki fungsi Among, Amangku, dah Amandulang ( fungsi memelihara dan menjaga ). Keadaan miskomunikasi antara orangtua dan anak akan dapat mempengaruhi kepribadian anak tersebut dimasa depan, seperti yang sering terjadi saat ini dimana kesibukan orangtua mengalahkan perhatiannya terhadap anak, sihingga anak menjadi angkuh dan acuh.
          Sekelumit pemaparan tersebut adalah beberapa nilai yang terkandung dalam buku ini. Begitu banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam buku ini terutama bagi orangtua dalam menanamkan kepribadian terhadap anak. Kepribadian yang sesuai dengan ciri bangsa seharusnya dibentuk mulai dini. Upaya pendidikan dini tersebut merupakan langkah preventif untuk mencegah pudarnya nilai-nilai budaya nasional, sedangkan langkah represifnya yaitu dengan mencari jatidiri melalui pengenalan terhadap budaya sendiri. Buku ini sangat menarik, hanya saja jarang ditemukan falsafah dari daerah lain, akan lebih baik apabila penulis menambahkan falsafah dari budaya-budaya lain di Indonesia yang begitu beragam.  Akhirnya yang menjadi harapan ditulisnya buku  ini yaitu agar pembaca menjadi diri sendiri serta bangga dan ikut mempertahankan budaya bangsa.