I. LATAR BELAKANG
Children
are the living messages we send to a time we will not see (anak adalah pesan
hidup yang kita kirim untuk masa yang tidak kita lihat)[1],
begitulah John W Whitehead menggambarkan pentingnya anak sebagai generasi
penerus sekaligus aset terbesar untuk masa depan. Dalam pandangan yang
visioner, anak merupakan bentuk investasi yang menjadi indikator keberhasilan
suatu bangsa dalam melaksanakan pembangunan. Keberhasilan pembangunan anak akan
menentukan kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang, oleh karena
itu upaya pembangunan anak harus dimuali sedini mungkin mulai dari kandungan
hingga tahap-tahap tumbuh kembang selanjutnya.
Anak
sebagai golongan rentan memerlukan perlindungan terhadap hak-haknya.
Sebagaimana diketahui manusia adalah pendukung hak sejak lahir, dan diantara
hak tersebut terdapat hak yang bersifat mutlak sehingga perlu dilindungi oleh
setiap orang. Hak yang demikian itu tidak terkecuali juga dimiliki oleh anak,
namun anak memiliki hak-hak khusus yang ditimbulkan oleh kebutuhan-kebutuhan
khusus akibat keterbatasan kemampuan sebagai anak. Keterbatasan itu yang
kemudian menyadarkan dunia bahwa perlindungan terhadap hak anak mutlak
diperlukan untuk menciptakan masa depan kemanusiaan yang lebih baik.
Dalam
sejarah dunia, terdapat catatan kelam mengenai anak di bidang ketenagakerjaan.
Sistem kerja tidak manusiawi atau perbudakan menimpa anak-anak dengan modus
perdagangan manusia (trafficking) terutama di kawasan timur tengah. Iqbal
Masih, anak berusia 10 tahun tercatat sebagai salah satu pahlawan dunia dalam
memberantas perbudakan anak. Tiga ribu budak anak di Pakistan berhasil dibebaskannya
setelah ia sendiri lolos dari perbudakan yang juga menimpa dirinya. Tragisnya
pada umur 12 tahun, Iqbal Masih di bunuh oleh jaringan mafia karena di nilai
menjadi propaganda dan pengaruh negatif bagi pekerja anak. Pasca pembunuhan
tersebut, tidak lantas menyurutkan semangat dalam menghapuskan praktek
perbudakan terhadap anak, bahkan dunia semakin membuka mata terhadap pentingnya
perlindungan hak anak. Semangat perlindungan bagi anak tidak lagi hanya dalam hal
penghapusan perbudakan anak, akan tetapi meningkat menjadi semangat penghapusan
pekerja anak.
Bukti
akan adanya semangat penghapusan pekerja anak, salah satunya dapat ditemukan
pada Konvensi ILO No.138 tentang Usia Minimum dipebolehkan Bekerja. Dalam Pasal
1 disebutkan bahwa setiap negara anggota konvensi tersebut menanggung kewajiban
untuk menempuh kebijakan nasional dalam menghapuskan pekerja anak. Dalam konvensi
tersebut memang terdapat beberapa ketentuan yang fleksibel bagi negara-negara
dengan kondisi tertentu, namun hal tersebut tidak mengurangi semangat
penghapusan pekerja anak.
Indonesia
sebagai salah satu negara anggota konvensi tersebut tentu harus memberlakukan
kebijakan nasional sebagaimana dimaksud dalam konvensi. Perihal larangan
mempekerjakan anak telah disebutkan dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003. Di dalam pengaturan tersebut terdapat beberapa pengecualian dalam
mempekerjakan anak, diantarnya yaitu perihal umur, jenis pekerjaan, kondisi
pekerjaan, dan lain sebagainya. Hal yang perlu diperhatikan bahwa baik di dalam
konvensi maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia menyebutkan adanya
pekerjaan terburuk yang tidak dapat diterapkan kepada anak. Salah satu
pekerjaan terburuk bagi anak adalah pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan
di bidang konstruksi sangat berpotensi mengancam keselamatan dan kesehatan
dalam bekerja, oleh karena itu pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan
dikerjakan oleh anak-anak. Tindakan mempekerjakan anak dalam pekerjaan terburuk
bagi anak dikategorikan sebagai kejahatan, oleh karena itu setiap pelanggar
ketentuan tersebut akan dikenai sanksi pidana. Permasalahannya adalah bagaimana
jika anak bekerja di bidang konstruksi untuk membantu orang tuanya, karena
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga disebutkan mengenai anak yang
bekerja pada usaha keluarganya. Hal lain yang menjadi permasalahan yaitu
mengenai definisi pekerja anak itu sendiri yang dalam tanda kutip berbeda
dengan makna anak yang bekerja.
Ketidakjelasan status “anak yang bekerja”, tentunya akan berdampak pada perlindungan yang diberikan terhadapnya. Praktek demikian telah terjadi pada proyek pembangunan perumahan Citra Pesona Tiga di kota Banyuwangi oleh PT. Srikandi Blambangan, di mana seorang anak bekerja membantu orang tuanya yang mendapat pekerjaan borongan untuk membangun beberapa rumah dalam jangka waktu tertentu, namun karena jumlah pekerja tidak mencukupi untuk menyelasaikan bangunan rumah pada waktunya, sehingga anak dan isteri dari tukang bangunan tersebut ikut membantu dalam mengerjakannya. Kondisi tersebut tentu akan sangat beresiko bagi anak meskipun dilakukan dengan sukarela.
Ketidakjelasan status “anak yang bekerja”, tentunya akan berdampak pada perlindungan yang diberikan terhadapnya. Praktek demikian telah terjadi pada proyek pembangunan perumahan Citra Pesona Tiga di kota Banyuwangi oleh PT. Srikandi Blambangan, di mana seorang anak bekerja membantu orang tuanya yang mendapat pekerjaan borongan untuk membangun beberapa rumah dalam jangka waktu tertentu, namun karena jumlah pekerja tidak mencukupi untuk menyelasaikan bangunan rumah pada waktunya, sehingga anak dan isteri dari tukang bangunan tersebut ikut membantu dalam mengerjakannya. Kondisi tersebut tentu akan sangat beresiko bagi anak meskipun dilakukan dengan sukarela.
II.
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dalam penulisan ini ditentukan beberapa rumusan masalah,
antara lain :
- Apakah anak yang bekerja membantu orang tuanya pada proyek pembangunan perumahan Citra Pesona Tiga dapat dikategorikan sebagai pekerja anak?
- Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang bekerja di bidang konstruksi?
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
PERBEDAAN MAKNA
PEKERJA ANAK DENGAN ANAK YANG BEKERJA
Anak merupakan salah satu tahap dari perkembangan fisik dan mental
manusia. Anak dikonotasikan sebagai manusia yang belum mencapai kematangan
fisik, kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental. Dalam
peraturan perundang-undangan pengertian anak dikaitkan dengan pembatasan usia.
Berikut adalah beberpa pembatasan usia anak dalam peraturan perundang-undangan[1] :
·
Undang-Undang
No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, batas usia anak adalah 18 tahun dan
belum kawin.
·
Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia anak adalah 16 tahun untuk
perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki dan belum kawin.
·
Undang-Undang
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, batas usia anak adalah 18 tahun dan
belum kawin.
·
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), batas usia anak adalah 21 tahun dan
belum kawin.
·
Undang-Undang
No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, batas usia anak adalah 21 tahun dan
belum kawin.
·
Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention of
the rights (konvensi tentang hak-hak anak), batas usia anak adalah di bawah 18
tahun.
·
Undang-Undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, batas usia anak adalah di bawah/
belum berusia 18 tahun, termasuk didalamnya mereka yang masih dalam kandungan
Ibu.
·
Undang-Undang
No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, batas usia anak adalah 18 tahun dan
belum kawin.
Dalam
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, batas usia anak adalah
18 tahun. Pada dasarnya mempekerjakan anak adalah suatu tindakan yang dilarang,
namun dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 disebutkan pengecualian mengenai
larangan mempekerjakan anak, yaitu :
Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat
dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.
(2) Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh
dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh
dewasa.
Dalam
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 memang tidak disebutkan pengertian yuridis
mengenai pekerja anak, namun dari ketentuan-ketentuan pengecualian terhadap
larangan mempekerjakan anak, secara tidak langsung telah memberikan pengertian
tersebut. Pekerja anak secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu pekerja
dan anak. Darwan Prints yang menyatakan bahwa pekerja adalah orang yang bekerja
pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya[2].
Selaras dengan itu, dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2003
diartikan “sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain”. Makna kata “setiap orang” dalam hal ini juga
berlaku untuk anak sepanjang anak yang dimaksud sesuai dengan pengecualian
dalam Undang-Undang terhadap larangan mempekerjakan anak. Dari hal tersebut
kemudian dapat ditarik mengenai makna pekerja anak yaitu setiap anak berusia 13
tahun sampai dengan 15 tahun yang bekerja pada orang lain dan mendapatkan upah
atau imbalan dalam bentuk lain, yang sifat pekerjaan dan syarat kerjanya telah
ditentukan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003. Alasan mengapa terdapat
larangan bekerja bagi anak, antara lain[3] :
·
Tidak ada waktu
atau terlalu lelah untuk belajar dan bersekolah.
·
Hilangnya
kesempatan untuk memasuki dunia sekolah.
·
Keterlibatan
anak-anak dalam pekerjaan secara dini cenderung rawan disalahgunakan.
·
Berbahaya dan
mengganggu perkembangan fisik, psikologis dan sosial anak.
· Dapat merusak
pertumbuhan fisik dan mental karena lelah, memikul beban yang berat, berada di
lingkungan kerja yang tidak mendukung perkembangan fisik, psikis dan moralnya.
· Kehadiran
pekerja anak dapat mengakibatkan kemiskinan, tenaga kerja tidak terampil dan
berpendidikan rendah.
·
Anak mungkin
akan mengalami siksaan, dikucilkan atau diperlakukan buruk di tempat kerja.
· Anak-anak akan
tumbuh menjadi seorang dewasa yang kurang sehat, kurang dapat bersosialisasi dan
secara emosional terganggu.
· Meningkatnya
jumlah pekerja anak akan memicu hambatan dinamika proses pembangunan SDM di
masa depan.
·
Pertambahan
jumlah pekerja anak akan mengurangi kesempatan kerja orang dewasa.
Makna pekerja anak
berbeda dengan anak yang bekerja. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Indaryati
dan Lisna melalui definisinya tentang pekerja anak yang diartikan sebagai anak
yang aktif bekerja, yang membedakannya dengan anak yang pasif bekerja, karena
tidak semua pekerjaan yang dilakukan oleh anak dapat menjadikan anak sebagai
pekerja[4] [bdk.
Indaryati dan Lisna (eds), 2005:75].
Pekerja anak berada di dalam lingkup anak yang bekerja, namun pekerja
anak dilakukan dengan legal dan berdasarkan pada Undang-Undang, sedangkan anak
yang bekerja lebih condong pada pengertian yang lebih luas dan tidak terikat
dengan ketentuan atau syarat-syarat yang diharuskan dalam Undang-Undang.
Sebagai contoh adalah anak yang bekerja pada usaha keluarganya sebagaimana
disebut dalam Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, di mana anak
yang bekerja pada usaha keluarganya tidak terikat untuk memenuhi beberapa
syarat dalam Pasal 69 ayat (2), hanya saja tetap terikat pada syarat waktu
kerja yaitu tiga jam pada siang hari dan tidak menganggu jam sekolah.
Contoh lain yang lebih ekstreme yaitu anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pelaksana pekerjaan rumah tangga, yang dalam bahasa universal disebut sebagai pekerja rumah tangga, namun apabila dilihat dari segi legalitasnya kata membantu lebih cocok karena dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia pekerja rumah tangga tidak dimasukan dalam ruang lingkup pengaturannya. Konsep pembantu rumah tangga tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum ketenagakerjaan, dengan alasan bahwa hubungan antara majikan dengan pelaksana pekerjaan rumah tangga adalah hubungan kekeluargaan. Hal tersebut memang menjadi permasalahan hingga saat ini termasuk dalam hal perlindungan anak, di mana anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak lagi harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan karena statusnya bukan sebagai pekerja.
Contoh lain yang lebih ekstreme yaitu anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pelaksana pekerjaan rumah tangga, yang dalam bahasa universal disebut sebagai pekerja rumah tangga, namun apabila dilihat dari segi legalitasnya kata membantu lebih cocok karena dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia pekerja rumah tangga tidak dimasukan dalam ruang lingkup pengaturannya. Konsep pembantu rumah tangga tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum ketenagakerjaan, dengan alasan bahwa hubungan antara majikan dengan pelaksana pekerjaan rumah tangga adalah hubungan kekeluargaan. Hal tersebut memang menjadi permasalahan hingga saat ini termasuk dalam hal perlindungan anak, di mana anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak lagi harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan karena statusnya bukan sebagai pekerja.
Hal serupa juga terjadi pada sistem kerja
“putting out”, dimana pekerja dapat membawa pulang pekerjaannya dan
menyelesaikannya di rumah. Dalam prosesnya, pekerja tersebut dibantu oleh
anggota keluarganya, namun apakah anggota keluarganya tersebut dapat juga
dikatakan sebagai pekerja, sedangkan ia tidak memperoleh upah sebagaimana
dinyatakan Undang-Undang dalam pengertian pekerja. Permasalahan ini sebenarnya
merupakan keterbatasan dalam pengaturan, di mana suatu peraturan tidak lagi
dapat menjawab permasalahan dalam masyarakat.
Dalam kasus anak
yang bekerja di proyek pembangunan perumahan Citra Pesona Tiga di Kota
Banyuwangi, melalui wawancara tidak terstruktur dapat diketahui beberapa fakta,
antara lain[5]
:
·
Anak tersebut
bekerja untuk membantu menyelesaikan pekerjaan borongan orangtuanya (Ayahnya) yang
berprofesi sebagai Tukang Batu (pekerja bangunan) dalam membangun rumah yang
harus selesai dalam waktu dua bulan untuk satu rumah.
Anak tersebut
tidak menerima upah, yang menerima upah adalah orangtuanya (ayahnya) yaitu
sebesar Rp.6.000.000,- untuk satu rumah.
· Anak tersebut
tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja yaitu PT.Srikandi
Blambangan, hubungan kerja hanya berlaku bagi orangtuanya (ayahnya) dengan
PT.Srikandi Blambangan berupa hubungan pemborongan kerja.
·
Anak tersebut
bekerja pada waktu sepulang sekolah dan hari libur tanpa batasan waktu
(berhenti jika lelah).
·
Anak tersebut
berusia 14 Tahun dan saat ini duduk di bangku kelas VIII SMP.
·
Anak tersebut
bekerja bersama Ayah, Ibu dan kedua pekerja lain sebagai asisten bangunan (Kuli
bangunan).
Dari beberapa fakta tersebut cukup kiranya menyebutkan bahwa anak
bersangkutan bukanlah termasuk dalam kategori pekerja anak. Selain itu dalam
beberapa peraturan perundang-undangan pekerjaan di bidang konstruksi sebenarnya
merupakan salah satu pekerjaan terburuk yang dalam pasal 74 Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 tidak dapat mempekerjakan atau melibatkan anak. Perihal cakupan
materi Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dan peratuaran perundang-undangan lain yang
dapat digunakan sebagai bentuk perlindungan bagi anak tersebut akan di bahas
pada sub bab selanjutnya.
[1] Waluyadi,
2009, Hukum Perlindungan Anak, CV.Mandar Maju, Bandung. Hal.3
[2] Darwan
Prints, 2000, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hal.20
[3] Sulaiman
Zuhdi Manik, 2009, Larangan Mempekrjakan Anak (online), www.blogger.com
(29 Mei 2012)
[5]
Wawancara tidak terstruktur dengan anak yang bekerja di proyek pembangunan
perumahan Citra Pesona Tiga.
A.
PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI ANAK YANG BEKERJA DI BIDANG
KONSTRUKSI
Konsep mengenai perlindungan hukum belum memiliki batasan-batasan
yang diakui secara keilmuan. Selaras dengan hal itu, Harjono berpendapat bahwa
Para pengkaji hukum belum secara komprehensif mengembangkan konsep
“perlindungan hukum” dari perspektif keilmuan hukum. Banyak tulisan-tulisan
yang dimaksudkan sebagai karya ilmiah ilmu hukum baik dalam tingkatan skripsi,
tesis, maupun disertasi yang mempunyai tema pokok bahasan tentang “perlindungan
hukum”. Namun tidak secara spesifik mendasarkan pada konsep-konsep dasar
keilmuan hukum secara cukup dalam mengembangkan konsep perlindungan hukum.
Bahkan dalam banyak bahan pustaka, makna dan batasan-batasan mengenai
“perlindungan hukum” sulit ditemukan, hal ini mungkin didasari pemikiran bahwa
orang telah dianggap tahu secara umum apa yang dimaksud dengan perlindungan
hukum sehingga tidak diperlukan lagi sebuah konsep tentang apa yang dimaksud
“Perlindungan Hukum”[1].
Perlindungan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal
protection dan dalam bahasa Belanda disebut rechtsbecherming. Harjono mencoba
untuk memberikan pengertian terhadap perlindungan hukum yaitu sebagai
perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan
oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan
tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut
ke dalam sebuah hak hukum”[2]. Dengan kata lain perlindungan hukum adalah perlindungan yang
diberikan dengan berlandaskan pada hukum dan Undang-Undang.
Manusia adalah pendukung hak sejak lahir, begitu pula dengan anak.
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap orang sebagai
suatu pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu setiap orang harus
mempertahankannya agar tidak kehilangan eksistensinya sebagai seorang manusia.
Pencerahan dari adanya hak tersebut telah melalui sejarah panjang. Hak Asasi
Manusia bermula pada berkembangnya aliran filsafat liberal yang bercorak
individualistik[3].
Dalam aliran tersebut Hak Asasi Manusia diartikan sebagai hak yang mendasari
kehidupan manusia sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat, sedangkan
manusia itu sendiri diartikan sebagai makhluk yang terlahir dengan kebebasan.
Konsep Hak Asasi Manusia yang demikian tadi, menimbulkan efek bagi
sifat hukum yang cenderung mempertahankan netralitas, dengan kata lain berusaha
untuk tidak ikut mencampuri proses-proses dalam masyarakat, seperti semboyan
yang berbunyi laissez fair laissez yang artinya biarlah semua berjalan sendiri
dengan bebas[4].
Dalam kondisi seperti itu maka intervensi dalam bentuk apapun menjadi terlarang
termasuk intervensi dari negara, yang menjadi prioritas adalah interaksi bebas
antar individu dalam masyarakat. Negara hanya berperan sebagai negara formil
yaitu hanya sebagai “Penjaga Malam”.
Pada perkembangannya muncul ketidakpuasan dari masyarakat atas
konsep yang cenderung menyerahkan semua kepada mekanisme pasar. Masyarakat
menginginkan agar hukum juga aktif berperan dalam menyejahterakan masyarakat.
Hal ini yang kemudian menghasilkan konsep tentang Negera Kesejahteraan (welfare
state). Hukum ikut campur tangan dalam upaya-upaya untuk menyejahterakan
masyarakat. Soehino menyebutkan bahwa tujuan dari negara kesejahteraan adalah
kesejahteraan umum, dimana negara memiliki apa yang dinamakan dengan freis
emessen yaitu kebebasan bertindak atas inisiatif dan kebijakannya sendiri, meskipun
kemudian menyebabkan perturan perundang-undangan tidak lagi mengikat secara
mutlak[5].
Berdasarkan hal itu juga kemudian lahir konsep Hak Asasi Manusia
modern, dimana Hak Asasi Manusia bukan lagi representasi dari individualisme
dan liberalisme. Konsep Hak Asasi Manusia saat ini dimaknai sebagai hak-hak
manusiawi yang melekat dengan harkat kemanusiaan apapun latar belakang ras,
etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan sebagainya.
Dengan pemahaman ini, maka muncul konsep modern tentang HAM yaitu[6],
Human rights could generally be defined as those rights which are
inherent in our nature and without which we cannot live as human beings. (Secara umum hak asasi manusia dapat dirumuskan sebagai hak yang
melekat dengan kodrat kita sebagai manusia ; yang bila tidak ada,
mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia).
Dengan demikian maka Hak Asasi Manusia menjadi hak yang mendasari
kehidupan manusia, sehingga setiap orang memiliki hak tersebut dan wajib
mempertahankannya. Sebagai hak dasar maka tidak boleh terjadi pelanggaran oleh
siapapun terhadap hak tersebut. Hak untuk hidup adalah hak yang paling Asasi
yang dimiliki oleh setiap orang. Hak tersebut kemudian berkembang menjadi
hak-hak yang lain dalam kehidupan bernegara di bidang politik, ekonomi-sosial
dan budaya, salah satunya adalah mengenai hak asasi anak.
Hak-hak anak merupakan Hak Asasi Manusia karena
anak adalah manusia yang dilahirkan dari setiap ibu dan berhak memperoleh
hak-haknya karena hak-hak anak pada hakekatnya melekat pada diri setiap anak
tersebut. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk juga anak yang masih dalam
kandungan sehingga anak sangat perlu dilindungi dari segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia
dan sejahtera.
Pengertian perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam pengertian ini
tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah,
penelantaran, dan eksploitasi[7]
(Rahmat, 2007). Ruang lingkup perlindungan hukum terhadap anak sangat luas.
Ruang lingkup tersebut dapat diketahui dari makna perlindungan hukum terhadap
anak itu sendiri. Perlindungan hukum terhadap anak dimaknai sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental
rights and freedom of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan
dengan kesejahteraan anak.[8]
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui lingkup perlindungan hukum bagi anak,
mencakup :
·
Perlindungan
terhadap kebebasan anak
·
Perlindungan
terhadap hak asasi anak
·
Perlindungan
hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan anak.
Hak anak dipengaruhi pula oleh kekhususannya sebagai seorang anak,
namun hal tersebut tidak mengurangi kesempatan anak untuk mendapatkan hak warga
negara sebagaimana dituangkan dalam konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945.
Hak-hak warga negara tersebut harus dimaknai secara luas, dimana hak-hak
tersebut tidak hanya dimonopoli oleh manusia dewasa, akan tetapi juga
diperuntukan bagi anak sepanjang dapat dilaksanakan, diterima dan bermanfaat
bagi anak.[9] Hak
untuk bekerja adalah salah satu hak yang berdasarkan karakteristik anak belum
dapat diterima oleh anak, namun hal tersebut tidaklah bersifat mutlak, karena
pada dasarnya terdapat pekerjaan yang berdasarkan sifatnya membawa manfaat bagi
anak. Pekerjaan yang membawa manfaat bagi anak diantaranya adalah pekerjaan
yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan (Pasal 70 Undang-Undang No.13
Tahun 2003), pekerjaanuntuk mengembangkan bakat dan minat (Pasal 71
Undang-Undang No.13 Tahun 2003), dan lain sebagainya.
Kontradiktif dengan hal tersebut yaitu pekerjaan yang sifatnya
terburuk bagi anak, maka jenis-jenis pekerjaan yang demikian tidak dapat
diterapkan pada anak dengan alasan apapun, meskipun dibenturkan dengan hak
untuk hidup yang notabene hak pokok dari Hak Asasi Manusia, karena hal tersebut
merupakan tanggungjawab negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 bahwa fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Penghapusan pekerjaan
terburuk bagi anak telah disepakati secara universal, terlihat dari adanya
Konvensi ILO No.182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Indonesia dalam memberikan
perlindungan bagi anak terhadap pekerjaan terburuk dicantumkan dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, antara lain :
Pasal 74 UU No.13 Tahun 2003
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada
pekerjaan-pekerjaan yang berburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya.
b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan
anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian.
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan
anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan
zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan,
atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan
Keputusan Menteri
Keputusan
Presiden No. 59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak, mengklasifikasikan jenis-jenis pekerjaan terburuk
untuk anak yaitu:
a.
Anak yang
dilacurkan
b.
Anak yang bekerja di pertambangan
c.
Anak yang bekerja
sebagai penyelam mutiara
d.
Anak yang bekerja
di sektor konstruksi
e.
Anak yang
bekerja di jermal
f.
Anak yang
bekerja sebagai pemulung sampah
g.
Anak yang
dilibatkan dalam produksi dan kegiatan menggunakan bahan peledak
h.
Anak yang
bekerja di jalanan
i.
Anak yang
bekerja sebagai pembantu rumah tangga
j.
Anak yang bekerja
di industri rumah tangga
k.
Anak yang bekerja di perkebunan
l.
Anak yang
bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu
m.
Anak yang
bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235 tahun 2003 tentang Jenis-Jenis
Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak
mengklasifikasikan pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu
kepada anak yaitu:
a.
Pekerjaan
konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan
b.
Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan
pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat
c.
Pekerjaan
mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki
dan diatas 10 kg untuk anak perempuan
d.
Pekerjaan dalam
bangunan tempat kerja yang terkunci
e.
Pekerjaan
penangkapan ikan di lepas pantai atau di perairan laut dalam
f.
Pekerjaan yang
dilakukan di daerah terisolir dan terpencil
g.
Pekerjaan di
kapal
h.
Pekerjaan yang
dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang
bekas
i.
Pekerjaan yang
dilakukan antara pukul 18.00-06.00
Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 74 UU No.13 Tahun 2003, yaitu
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
tindak pidana kejabatan.
Tujuan
dari perlindungan terhadap anak dalam hukum ketenagakerjaan adalah agar anak
dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk
memperoleh pendidikan karena anak merupakan penerus bangsa[10].
Permasalahannya yaitu ruang lingkup hukum ketenagakerjaan yang hanya meliputi
pekerja anak ataukah meliputi pula pengertian anak yang bekerja secara luas.
Seperti halnya dalam kasus anak yang bekerja di proyek pembangunan perumahan
Citra Pesona Tiga di kota Banyuwangi, dapatkah ketentuan Undang-Undang No.13
Tahun 2003 diterapkan.
Dalam
menjawabnya, maka merujuk pada steatment pemerintah pada permohonan judicial
review terhadap ketentuan outsourcing, bahwa ruang lingkup hukum ketenagkerjaan
harus ditafsirkan luas, bukan hanya perihal pekerja sebelum bekerja, ketika
bekerja, dan setelah bekerja, akan tetapi juga meliputi kepentingan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut maka perihal
anak yang bekerja secara luas juga termasuk dalam lingkup pengaturan hukum
ketenagakerjaan. Selain itu dalam klausul Pasal 74 menyebutkan kata “setiap orang”,
yang harus dimaknai secara luas pula yakni bukan hanya pengusaha, akan tetapi
juga dapat diterapkan pada pihak lain yang bertanggungjawab terhadap
perlindungan hak anak berdasarkan Undang-Undang diantaranya Pemerintah,
Orangtua, Keluarga, dan Masyarakat. Pasal 74 juga menyebutkan klausul “melibatkan”, sehingga
ketentuan tersebut tidak hanya semata-mata berlaku pada pengusaha yang
mempekerjakan, akan tetapi juga orang yang melibatkan anak dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan. Ketentuan dalam pasal lain yang menunjukan bahwa hukum
ketenagakerjaan juga melingkupi anak yang bekerja dalam artian yang luas, yaitu
pasal 75 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Pemerintah wajib
menanggulangi anak-anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Berdasarkan hal
tersebut, apabila dalam kasus tersebut kemudian timbul resiko terhadap anak,
maka orang tua yang bertanggungjawab bukan pengusaha, karena tidak ada hubungan
kerja antara pengusaha dengan anak. orang tua yang melibatkan anak dalam
pekerjaan, oleh karena itu sanksi dapat diterapkan kepadanya, apabila perlu
dapat pula diberlakukan ketentuan pencabutan kekuasaan orang tua dalam mengasuh
anak berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, oleh karena ia tidak dapat
menunjukan tanggung jawab atas kesejahteraan anaknya.
[1] Harjono,
2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi. Hal.373.
[2]
Ibid Hal.357
[3] Satjipto
Rahardjo, 2008, Membedah Hukum
Progresif, Kompas, Jakarta.
[4]
Ibid
[5] M.
As Hikam;dkk, 2000, Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. Hal.40
[6]
Tri Widodo W. Utomo, 1998, Hak Asasi
Manusia, Lembaga Administrasi Negara Perwakilan Jawa Barat. Hal.4
[8]
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal.153
[9]
Waluyadi, 2009, Hukum Perlindungan Anak, CV.Mandar Maju, Bandung. Hal.2
[10]
Lalu Husni, 2005, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.RajaGrafindo
Persada, Jakarta. Hal.108