Sabtu, 07 Mei 2011


Perjuangan Berlanjut
Enam puluh lima tahun silam di pegangsaan timur bangsa Indonesia meneriakan kata merdeka. Pisau kolonialisme yang telah lama tertancap dijantung ibu pertiwi dicabut dengan segenap kekuatan secara serempak diberbagai sudut nusantara. Bendera pusaka terpancang diujung tertinggi tiang harapan seiring dengan tumpukan angan tentang bangsa kokoh yang akan merajai masa depan. Cita-cita mulia disematkan oleh generasi terdahulu dalam naskah dengan gambaran perdamaian dunia serta konstelasi tentang bangsa cerdas yang mempeloporinya.
            Pengorbanan yang begitu besar dari para patriot masa lalu, kini tak mampu terbayang dalam logika generasi manja yang sekan menganggap semua ini ada begitu saja. Apa yang mereka baca dalam buku-buku sejarah hanya dianggap sebagai dongeng dan kisah yang dibesar-besarkan. Padahal jika dipikir lagi untuk apa beliau-beliau bersusah payah dalam pembuangan, kekangan, serta himpitan pengap penjara demi menciptakan sebuah perubahan, mengingat kemampuan luar biasa yang dimiliki bisa saja mereka menjadi pejabat-pejabat pemerintah penjajah dengan harta menumpuk dan fasilitas-fasilitas mewah yang disiapkan dengan memeras keringat rakyat. Bung karno lebih memilih meringkuk dalam hotel prodeo suka miskin daripada menghentikan perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia. Para pejuang tidak pernah merasa puas dengan satu tubuh, satu jiwa, satu ruh, yang dapat mereka korbankan untuk bangsa.
            Banyak diantara kita yang telah mengabaikan perjuangan masa lalu dan terbuai oleh kemewahan, gedung-gedung yang menjulang tinggi serta segala hal lain yang menyilaukan di ibu kota. Banyak diantara kita yang kehilangan rasa cinta tanah air serta empati terhadap orang lain. Jurang diantara kita sudah terlalu dalam, diluar sana masih banyak rakyat miskin yang kelaparan, diantara mereka ada yang hanya memperoleh 1000 rupiah per hari untuk kehidupan mereka jauh dari garis kemiskinan yang ditetapkan dunia Internasional yaitu dua dollar per hari, dilain sisi banyak diantara kita khususnya para selebritis yang bersedia mengeluarkan ratusan juta rupiah hanya untuk sebuah tas saja. Perjuangan belum berakhir, kemerdekaan belum sepenuhnya kita dapat, saat ini kita terjebak oleh kamuflase dan pesta semalam yang enggan berakhir. Pidato Boediono dua tahun lalu telah jelas mengatakan bahwa kita sedang dijajah dalam bentuk lain.
            Menurut kalian apa yang menjajah kita sekarang? Apakah ideologi keagamaan yang belakangan ditakutkan dengan segala tindak terornya?  Dengan terang dan jujur kami menjawab tidak. Mereka yang menggunakan Agama adalah mereka yang tersesat dengan konstelasi politik internasional yang disutradarai oleh negara super power dengan segala macam strateginya, ingatlah kawan membunuh satu nyawa sama dengan melenyapkan kemanusiaan. Mereka menganggap kita sedang perang fisik dan wajib untuk berjihad. Apa salahnya dengan jihad? Bung tomo dan Cut Nyak Dien menggunakan kata jihad dalam memerangi penjajah, namun itu berlangsung ketika kita dijajah secara fisik. Saat ini kita dijajah secara halus namun efektif, melalui ekonomi secara perlahan kita dirusak oleh pihak asing, maka perlawanan yang dilakukan adalah dengan revolusi pola pikir. Runtuhnya das capital oleh paham kapitalisme menjebak kita dalam korporatokrasi negara lain, dengan bantuan teknokrat yang gemar berpolitik serta para penguasa dan pemburu rente di negeri ini yang menjelma sebagai antek-antek penjajah masa lalu menggerogoti kekayaan bangsa kita. Bung Karno dalam salah satu pidatonya pernah berkata “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Kami mencoba menjelaskan apa yang terjadi saat ini meskipun tidak terlalu runtut dan jelas namun tentang hal ini telah ditulis dalam banyak judul buku yang dengan mudah dapat kita peroleh bahkan dengan cuma-cuma.  
            Saat ini bendera pusaka berkibar jauh dari tanah air kita, bukan dengan kebanggaan melainkan harap iba agar diakui. Kolong jembatan Arab menjadi tempat naungan bagi keluarga kita bagian dari bangsa Indonesia yang terusir dari tanah mereka oleh keadaan yang seakan sengaja diciptakan. Banyak diantara mereka yang mati karena kelaparan, jasad mereka hanya tergeletak tak terurus bahkan diantaranya terdapat jasad anak-anak yang dibuang ditempat sampah. Apalah arti bendera jikalau mereka menderita, pernahkah dalam benak mereka merasa lelah menjadi bagian dari kita, lelah dalam mendukung Pancasila? Tentulah jawabannya begitu nyata terlihat ketika tetasan peluh dan air mata menderai berai dibawah kibaran bendera. Sementara itu pernah terdengar celetukan dari mulut tanpa merasa berdosa berkata bahwa “Aku bukan Nasionalis Aku Internasionalis”, begitu besar keinginannya untuk mendunia hingga ego tak terbendung oleh jerit tangis kemiskinan. Teringat suatu dialog dalam film God of War ( "Internasionalis sejati adalah mereka yang dengan senang hati menjual amunisi untuk membantai bangsanya sendiri" ). Telinga ini kemudian kuncup dengan sendirinya merasa malu dengan ucapan yang tak bertanggungjawab dengan jati dirinya sendiri.
            Sudah saatnya kita merubah paradigma berpikir kita, menciptakan kepribadian dan prestasi dengan orientasi kedepan, terutama bagi kita mahasiswa sebagai kaum intelektual yang diharapkan menciptakan perubahan dan perbaikan bangsa. Kita tidak perlu berjuang secara fisik seperti pada saat melawan penjajah sebagai bentuk rasa cinta tanah air, nasionalisme bukan hanya terkait masa lalu tetapi juga masa depan. Jangan terjebak dengan indoktrinasi yang membuat lupa dengan jati diri bangsa yang sebenarnya dan menghilangkan rasa cinta tanah air serta empati terhadap orang lain, janganlah menatap masa depan dengan mata yang buta. Sekali lagi perjuangan kita belum berakhir, pun dengan mengorbankan satu jiwa dan raga tak akan bisa menghentikan langkah kita. Mari bangkit dan berjuang…
Merdeka…!!!
Hidup Mahasiswa…!!!

       RIZKI REZZA FAHLEVI